Ada jalan yang dibangun untuk meluruskan perjalanan rakyat. Tapi entah bagaimana, justru jalan itu bengkok sebelum aspalnya sempat kering.
Jalan Jenangan–Kesugihan di Ponorogo, misalnya. Tahun 2017 silam, proyek jalan ini lahir dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp1,38 miliar. Rakyat berharap bisa lewat dengan nyaman, dengan roda yang tak lagi memantul karena lubang. Tapi rupanya ada juga yang melintasi jalur lain—jalan pintas menuju keuntungan pribadi.
Kini, delapan tahun berselang, jejak aspal yang dulu dikorupsi mulai membuahkan pengembalian. Kejaksaan Negeri Ponorogo pada Senin (7/7/2025) menerima uang pengganti dari terdakwa Ferdiansyah Himawan sebesar Rp902 juta. Bukan hibah, bukan CSR, tapi hasil dari vonis hukum yang menyatakan bahwa negara—alias kita semua—dirugikan.
Ferdiansyah bukan tokoh tunggal dalam cerita ini. Ia subkontraktor yang dalam perjalanannya harus mendekam enam tahun enam bulan di balik jeruji. Ia sempat mengajukan peninjauan kembali (PK) pada Mei 2024. Tapi Pengadilan Negeri Surabaya menolak—mungkin hakim sudah cukup jenuh dengan jalan-jalan yang terlalu berliku.
Yang menarik, kerugian negara disebut mencapai Rp940 juta. Tapi uang yang dikembalikan baru Rp902 juta dari Ferdiansyah dan Rp35 juta dari terdakwa lain, Endro Purnomo. Jika ini matematika kelas empat SD, mungkin masih ada yang bertanya: sisanya ke mana?
Tentu kita tidak buru-buru menuduh. Namun, menarik untuk mencatat bahwa total ada enam tersangka dalam kasus ini. Empat dari kalangan aparatur sipil negara (ASN), dua dari pihak swasta. Nama-nama lainnya barangkali sudah selesai di atas meja hukum, atau barangkali sedang menunggu giliran. Atau bisa juga sedang pensiun dengan tenang.
Yang jelas, proyek ini bukan hanya soal jalan, tapi juga tentang ke mana arah niat itu dibelokkan. Spek teknis yang diselewengkan mungkin tak tampak oleh mata awam. Tapi aparat audit berhasil membongkarnya, menyingkap lapisan-lapisan tipis yang seharusnya kuat menopang kendaraan rakyat.
Kini uangnya sudah kembali. Setidaknya sebagian besar. Diterima, disetor ke kas negara. Satu putaran korupsi selesai, mungkin hanya untuk membuka bab berikutnya.
Kita boleh berharap, suatu saat nanti, pembangunan tidak lagi berjalan seperti nasib proyek ini—dimulai dengan niat baik, dilaksanakan dengan teknik buruk, dan diakhiri dengan penjara dan pengembalian.
Dan mungkin, di masa depan, jalan-jalan di Ponorogo akan benar-benar lurus. Bukan hanya lurus bentuknya, tapi juga lurus niatnya.