“Ini jalan aneh. Katanya Rp190 juta, tapi begini?”
Kalimat itu meluncur dari mulut seorang bocah, sambil merekam jalan rabat beton di desanya. Sederhana, polos, tapi dalam. Sejak video itu viral, kita semua seperti diingatkan: bahwa di tengah data, papan proyek, dan audit inspektorat—masih ada suara jujur yang tak bisa dibeli. Suara anak-anak.
Sekilas Tentang Proyek
Lokasinya di Dusun Glagah Malang, Desa Pager, Kecamatan Bungkal, Ponorogo. Proyek jalan rabat beton itu menelan anggaran Rp190 juta dari dana desa tahun 2024. Volume dalam prasasti tercantum 113,624 m³ dengan panjang sekitar 303 meter, lebar 2,5 meter, dan tebal 15 cm.
Pemdes Pager mengklaim proyek sudah sesuai: diperiksa inspektorat, tidak ditemukan pelanggaran teknis maupun administratif. Bahkan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, menanggapi santai dan menyebut itu sebagai “kritik terbaik untuk bangsa”.
Tapi Mengapa Tetap Viral?
Bukan karena jalan itu benar-benar rusak parah. Bukan juga karena audit menemukan kebocoran anggaran. Tapi karena kritik itu datang dari seseorang yang tak disangka-sangka: anak kecil.
Ia tidak membawa data APBDes, tidak menyitir regulasi dana desa, apalagi menyusun laporan resmi. Ia hanya menyampaikan apa yang dilihat dan dirasakan: jalan yang katanya mahal, tapi tampak sederhana. Dan itu cukup untuk menggugah publik.
Generasi Curiga
Yang membuat reflektif: dari mana datangnya rasa curiga itu? Anak-anak biasanya hidup dalam dunia polos dan percaya. Tapi jika seorang bocah bisa merasa ada yang tidak beres dengan proyek infrastruktur, mungkin kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang tidak tumbuh dalam kepercayaan, tapi dalam kewaspadaan.
Mereka menonton bagaimana jalan desa dibangun dua kali setahun tapi tetap berlubang. Mereka mendengar kisah bansos yang “belum cair” tapi rumah tetangga mendadak bertingkat. Mereka menyaksikan kepala desa berganti mobil setelah dilantik. Tanpa diajari, anak-anak pun menyusun logika mereka sendiri: “Ada yang tidak beres.”
Ketika Beton Tak Cukup Menutup Lubang Kepercayaan
Secara teknis, harga beton sekitar Rp1,67 juta per meter kubik memang masih bisa dianggap wajar. Tapi wajar secara angka belum tentu wajar secara rasa. Ketika masyarakat—bahkan anak-anak—sudah punya refleks untuk curiga pada proyek publik, itu pertanda bahwa lubang yang harus ditambal bukan hanya di jalan, tapi di ruang kepercayaan publik.
Barangkali ini saatnya kita berhenti mengandalkan prasasti proyek dan laporan inspektorat sebagai satu-satunya alat ukur. Sebab kadang, suara bocah lebih jujur dari suara formalitas. Mungkin karena ia belum sempat belajar bagaimana cara memoles kecurangan dengan kata-kata rapi.
Penutup: Suara yang Tak Boleh Dihilangkan
Fenomena bocah reviewer jalan ini bisa kita anggap remeh. Tapi bisa juga kita jadikan cermin. Bahwa di negeri ini, jika suara kejujuran hanya bisa terdengar dari anak-anak, maka barangkali orang dewasa sudah terlalu lama memendam diam atau terlalu sibuk mengurus proyeknya sendiri.
Dan jika anak-anak saja sudah curiga, lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan percaya?
0 Komentar