
Ponorogo – Pemerintah Kabupaten Ponorogo menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan keuangan daerah tahun ini. Anggaran belanja pegawai terus membengkak dan menyedot hampir separuh ruang fiskal. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD), porsi belanja pegawai mencapai 39 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Angka ini jauh di atas ambang batas maksimal 30 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
“Setiap bulan kami harus mencairkan sekitar Rp 48 miliar hanya untuk membayar gaji 7.176 ASN, baik PNS maupun PPPK. Ini tentu sangat membebani postur anggaran,” ungkap Kepala BPPKAD Ponorogo, Sumarno, saat ditemui Rabu (10/7/2025).
Sumarno menilai, tingginya beban belanja pegawai membuat ruang fiskal untuk program-program strategis dan pembangunan fisik semakin menyempit. “Kalau ini dibiarkan terus, kita hanya akan jadi pengelola gaji, bukan pengelola pembangunan,” tegasnya.
Sebagai langkah rasionalisasi, Sumarno merekomendasikan agar Pemkab menunda rekrutmen ASN baru setidaknya hingga tahun 2027. Menurutnya, jika tidak ada penambahan pegawai dan setiap tahun terdapat 300 hingga 500 ASN yang pensiun, maka dalam tiga tahun ke depan porsi belanja pegawai bisa ditekan hingga kisaran 33–34 persen.
“Mencapai batas ideal 30 persen memang sulit, apalagi dengan struktur kepegawaian yang sudah ada. Tapi tanpa penambahan pegawai, tren anggaran ini bisa mulai menurun secara bertahap,” jelasnya.
Besarnya alokasi anggaran untuk gaji pegawai juga berdampak langsung terhadap pemangkasan program-program pembangunan. Sejumlah rencana infrastruktur strategis dilaporkan harus ditunda atau dikurangi anggarannya demi menutupi belanja wajib tersebut. Kondisi ini pun tak luput dari perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memberikan catatan serius dalam laporan audit terakhir.
“APBD kita harus dipotong terlebih dahulu untuk membayar belanja pegawai. Baru sisanya dibagi untuk kebutuhan sektor lain. Ini kondisi yang tidak sehat,” imbuh Sumarno.
Sejumlah pengamat keuangan publik menilai fenomena ini mencerminkan lemahnya perencanaan sumber daya manusia di daerah. Ekonom kebijakan publik, Dr. Tri Wibowo dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo, menilai belanja pegawai yang tidak terkendali bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang.
“Jika rasio belanja pegawai terus membengkak, maka pemerintah daerah kehilangan daya kendali atas prioritas pembangunannya sendiri. Daerah menjadi birokratis secara anggaran, tapi miskin investasi pembangunan,” kata Tri.
Ia juga mengingatkan potensi jebakan fiskal yang bisa terjadi apabila tren ini tidak segera dibenahi. “Ketika anggaran habis untuk belanja rutin, kualitas pelayanan publik pasti terdampak. Masyarakat yang akan menanggung akibatnya.”
Langkah moratorium rekrutmen ASN dinilai sebagai keputusan sulit, namun realistis. Namun, Dr. Tri juga mendorong Pemkab untuk mulai merancang reformasi kelembagaan agar tidak sekadar menunda, tetapi juga memperbaiki manajemen birokrasi secara menyeluruh.

Reporter: N/A
Editor: N/A
Terbit:
0 Komentar