Seratus Milyar yang Bisa Jadi Apa Saja



Di sebuah kabupaten yang dikenal dengan warok, reog, dan jalan berlubang, sebuah wacana sedang hangat diperbincangkan: pemerintah daerah ingin meminjam uang. Bukan sembarang pinjaman. Jumlahnya tidak bisa dikumpulkan dengan celengan ayam atau hasil arisan RT. Seratus milyar rupiah. Tiga nol lebih banyak dari impian sebagian besar orang tua terhadap gaji anaknya.

Konon, uang itu akan digunakan untuk perbaikan infrastruktur. Jalan rusak akan dilicinkan. Jembatan tua akan diperkuat. Sekolah bocor akan mendapat atap. Cita-citanya tampak suci, seperti janji kampanye yang dibacakan saat cuaca cerah.

Tentu, ini bukan kali pertama kita mendengar tentang proyek-proyek pembangunan yang mengandalkan utang. DSCR, rasio fiskal, dan kajian pansus menjadi istilah sakti yang membuat rakyat tak lagi bertanya, hanya bisa manggut-manggut, pura-pura paham, sambil tetap menerjang jalan becek menuju ladang.

Mari kita bermain dengan imajinasi.

Seratus milyar itu bisa apa?

Kata insinyur jalanan, itu cukup untuk memperbaiki 100 kilometer jalan. Bayangkan, dari alun-alun sampai ujung perbatasan, jalan mulus tanpa perlu zig-zag menghindari lubang. Tapi tentu itu kalau semuanya bersih, tak ada potongan siluman, tak ada jalan yang "dianggarkan dua kali, dikerjakan setengah".

Atau kita bisa memilih membangun 10 sekolah baru, lengkap dengan toilet yang benar-benar mengalirkan air, bukan janji. Atau 100 sekolah direnovasi, supaya anak-anak tidak perlu belajar sambil menghindari tetesan dari plafon.

Bisa juga membangun 10 puskesmas modern, dengan peralatan yang lebih canggih dari stetoskop warisan. Supaya warga desa tak perlu lagi bertanya ke dukun tentang kadar kolesterol.

Tapi semua itu hanya mungkin jika uangnya turun ke tanah, bukan berhenti di meja rapat.

Karena sejarah mengajarkan kita satu hal: dana besar tidak menjamin hasil besar. Seringkali, yang besar justru markup-nya. Yang mulus hanyalah laporan, bukan jalannya. Yang sehat hanyalah narasi, bukan fasilitas kesehatannya.

DPRD pun tampaknya mulai sadar. Mereka minta kajian lebih dalam. Mereka ingin memastikan pinjaman ini tidak menjadi candu fiskal. Ah, semoga benar begitu. Semoga tidak sekadar basa-basi menjelang pengesahan.

Di sisi lain, rakyat terus berjalan. Dengan motor tua, mereka menembus jalan rusak yang setiap musim hujan berubah menjadi kubangan sejarah. Mereka tak banyak tanya soal DSCR atau bunga pinjaman. Mereka hanya ingin bisa lewat tanpa jatuh. Anak mereka bisa sekolah tanpa takut atap runtuh. Ibu mereka bisa berobat tanpa harus menjual kambing.

Mereka tidak meminta banyak. Tapi setiap kali pemerintah bilang “pinjam dulu, nanti kita bangun”, mereka ingin bertanya:

“Nanti itu kapan? Dan bangunnya di mana? Karena sejauh ini, yang dibangun tampaknya bukan jalan, tapi alasan.”

Seratus milyar bisa jadi apa saja...
Tapi dalam birokrasi yang tak jelas, ia bisa tidak jadi apa-apa — kecuali beban cicilan bagi generasi selanjutnya.

SeRogo

0 Komentar