Kemarin malam saya kedatangan tamu. Gus Hen, sebut saja begitu namanya, teman lelaku suluk dari Trenggalek. Ia mengajak pawongan yang mengaku dari Pekalongan. Pawongan dari Jateng itu tampak sedang terkena masalah. Terlihat jelas mengapung rasa susah di raut wajahnya. Ia juga tak tenang. Gelisah.
"Cak Wot, ini saya punya pasien dari Jateng. Dia kini sedang terkena musibah. Saya ajak ke jenengan ini untuk diberi wejangan, biar hatinya tenang. Dia sudah saya ajak suluk di padepokan saya, tapi kok tetap saja gelisah. Untuk itu, saya ajak ke jenengan ini," kata Gus Hen membuka pembicaraan.
Mendengar itu saya terdiam. Pun kemudian mesem. "Walaah.., sampean iki iso ae gus," kata saya singkat. "Lah saestu niki cak. Tulung kulo dibantu unambani mase niki," desak Gus Hen.
Atas desakan itu kini saya bukan hanya mesem, tapi juga tertawa. Aneh dan geli. "Gus, bukankah sampean biasane sing ngopeni wong-wong stres ngene iki. Lucu sampean iki. Ono wong ngene kok digowo mrene, engko dekne iso tambah mumet," jawabku bercanda.
"Wis to cak, sampean wejang opo ngono lho. Trus sampean dongani opo ngono. Sopo ngerti wejangan-dongane sampean mandi. Mulih teko kene, mase iki tenang pikire lan seneng atine," desak lagi Gus Hen.
Mendengar obrolan ini, rupanya, mase dari Jateng itu mendengar. Dia berdehem. Lalu, Gus Hen mengajak saya menemui mase dari Jateng itu yang masih duduk di teras rumah. "Mas manggo sampean mlebet dateng griyo mriki," pinta saya.
Sebelum memberi wejangan, seperti yang diminta Gus Hen, saya pun minta penjelasan sebenarnya. Masalah apa yang menimpa mase dari Jateng itu?
"Saya ini tertipu oleh politisi di Jakarta. Politisi itu mengaku bisa memasukkan orang jadi pegawai negeri. Ternyata saya dibohongi," ungkapnya.
"Saya sudah setor uang banyak dari teman-teman saya yang ingin masuk PNS kepada politisi itu. Uang sudah dibawa, janji tak dipenuhi, malah sekarang pergi entah kemana. Kini, saya yang dioyak-oyak oleh orang-orang yang sudah menyetorkan uang kepada saya. Malah sekarang ada yang melaporkan saya ke polisi dengan tuduhan penipuan. Makanya ini saya kabur dari rumah," tambahnya dengan nada gusar.
Saya menarik nafas panjang setelah mendengar penjelasannya. Ia kabur karena takut amuk orang dan berhadapan dengan hukum.
"Sabar nggih mas, sabar. Sebagai bentuk tanggung-jawab jenengan, jane mboten usah jenengan keplayu. Jenengan wangsul mawon, jenengan hadapi dan jalani mawon nopo sing dados ujian jenengan sak niki," pinta saya dengan bahasa Jawa.
Mase dari Jateng itu agaknya menampik saran saya. Ia malah protes. "Sampean gampang saja ngomong sabar, dihadapi, dijalani. Sing nglakoni iki sing berat," jawabnya dengan nada meninggi.
Melihat dan mendengar ini saya tersenyum. "Aku ngomong enak ae, berat nglakoni. Opo maneh aku ngomong berat, terus piye sampean iso nglakoni," kata saya bercanda.
Tapi, saya paham dan menyadari terhadap pawongan yang "koplak" akibat mendapat ujian berat ini. "Kulo saget ngomong ngeteniki nggih mboten namung omon-omon lho mas. Kulo niki nggih nglampahi ujian berat. Mungkin malah ujian kulo lebih berat dibanding ujian jenengan," kata saya dengan serius.
Sabar memang hanya satu kata. Tapi, untuk menjalaninya, sungguh sangat berat—jika orang tak memiliki iman.
"Empun ngeten mawon sak niki, sering-sering bernafas panjang. Syukur-syukur sembahyange dikencengi, dikathahi istighfare," pinta saya. Mendengar saran saya ini kemudian mase tampak mereda emosinya. Alhamdulillah.
(*)