Iklan

📢 Pasang Iklan Disini

Negara Ini Tidak Kekurangan Sekolah, Hanya Kelebihan Ambisi

Redaksi
Jumat, 11 Juli 2025
Last Updated 2025-07-11T23:21:02Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Pasang Iklan di Sini
Jangkauan luas, harga terjangkau
📲 Hubungi via WhatsApp

Jika pendidikan adalah jembatan menuju masa depan, maka tampaknya negara ini sedang sibuk membangun jembatan baru, sementara jembatan lama dibiarkan lapuk, sunyi, dan nyaris runtuh. Tengoklah fenomena yang terjadi di banyak daerah: puluhan sekolah negeri berdiri megah namun kosong—bukan karena anak-anak tak butuh belajar, tetapi karena sistem yang semrawut dan tidak pernah sungguh-sungguh dibenahi.

Di Ponorogo, 45 dari 56 SMP Negeri tidak memenuhi pagu pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025. Fenomena ini bukan hal baru. Di Blitar, 85 dari 108 SMP—baik negeri maupun swasta—juga kekurangan murid. Di Tulungagung, 35 dari 48 SMP Negeri mengalami hal yang sama. Ini bukan kebetulan, tapi pola nasional yang konsisten: sekolah ada, murid tak datang.

Lalu, di tengah sekolah-sekolah yang sekarat, muncullah proyek baru penuh semangat: Sekolah Rakyat (SR). Judulnya mulia: memberi pendidikan gratis dan asrama untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Fasilitas lengkap, seragam, makan, tempat tinggal, semua dibayar oleh negara. Tapi mari kita jujur, benarkah ini jawaban atas persoalan pendidikan, atau sekadar cara baru menambal wajah lama yang rusak?

Di negara ini, kita semua hampir tahu—kalau ada peluang, maka peluang itu jarang sekali murni untuk kebaikan. Apalagi jika sudah berbentuk proyek besar dengan anggaran miliaran rupiah. Proyek pendidikan? Bagus. Ada bangunan baru? Lebih bagus. Ada pengadaan barang, pelatihan guru, seragam, makanan, bahkan gorden jendela? Nah, di situlah biasanya semua jadi lebih “menarik.” Kita tidak perlu terlalu sinis untuk menyadari: suap sana-suap sini bukan cerita langka. Dalam sejarah negeri ini, di mana ada proyek, di situ sering kali tumbuh ladang basah.

Dr. Subarsono dari Universitas Gadjah Mada bahkan mengingatkan bahwa program ini tampak lebih seperti manuver politis ketimbang solusi pendidikan. Ia menyebut Sekolah Rakyat seharusnya difokuskan di daerah 3T, bukan dibangun sembarangan sementara sekolah negeri reguler di daerah perkotaan dan desa menjerit kekurangan murid dan guru.

M. Reza Syadik, pengamat kebijakan sosial, menyebut SR sebagai program karitatif yang tidak menyentuh akar masalah, tumpang-tindih dengan fungsi kementerian lain, dan berisiko menjadi proyek seremonial tanpa keberlanjutan.

Namun tampaknya, dalam politik pembangunan, "bangun baru" lebih seksi daripada "benahi yang lama." Sekolah negeri yang sepi dianggap tidak menjual, sedangkan Sekolah Rakyat—dengan segala narasi heroik tentang "penyelamatan anak miskin"—lebih mudah dijual dalam pidato, unggahan sosial media, dan rapat-rapat anggaran.

Padahal kita tahu, akar masalahnya bukan hanya kemiskinan. Tapi juga distribusi guru yang timpang, infrastruktur yang rusak, persepsi mutu yang dibiarkan buruk, serta sistem zonasi yang belum dibarengi pemerataan kualitas. Tapi alih-alih memperbaiki itu, pemerintah memilih mendirikan sekolah baru yang mewah—untuk segelintir.

Lebih parah lagi, program ini justru dijalankan oleh Kementerian Sosial, bukan oleh Kementerian Pendidikan. Maka pertanyaannya sah: apakah pendidikan kini dianggap sebagai bantuan sosial? Jika demikian, apakah anak miskin hanya boleh belajar di tempat khusus, terpisah dari masyarakat umum?

"Pendidikan sejati tidak bisa lahir dari struktur yang melanggengkan ketimpangan."
Paulo Freire

Jika pemerintah serius ingin menghadirkan keadilan pendidikan, maka perbaiki dahulu sekolah-sekolah yang ada. Hidupkan kembali yang sekarat. Kembalikan martabat sekolah negeri sebagai ruang publik yang setara. Bukan membangun institusi baru yang eksklusif hanya karena anggarannya menjanjikan banyak celah “peluang”.

Karena sungguh, negara ini tidak kekurangan sekolah. Yang ia kekurangan adalah keberanian untuk membenahi yang sudah ada—dan kejujuran untuk tak menjadikannya ladang proyek.


Foto Penulis
Penulis: Kang Tarno
Editor: N/A
Terbit:


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Hari Jadi Ponorogo

📢 Pasang Iklan Disini