Iklan

📢 Pasang Iklan Disini

"Wayange Wayahe Sembahyang"

Seputar Ponorogo
Sabtu, 22 November 2025
Last Updated 2025-11-22T01:46:14Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Pasang Iklan di Sini
Jangkauan luas, harga terjangkau
📲 Hubungi via WhatsApp
foto: ist


Oleh: Cak Wot 
(Pemangku Pasulukan Cubluk Suwung Ngebel)

JUDUL di atas saya ambil dari status di medsos milik Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. Status itu diunggah di akun medsosnya sehari sebelum ditangkap KPK. Dari statusnya itu, Pak Preen --begitu warganya menyebut Sugiri Sancoko karena merakyat dan bersahabat-- sudah menangkap "sasmita" bakal terjadi sesuatu yang berat pada dirinya. Sebab, jika tak ada sesuatu yang berat menimpanya, tidak gampang orang mau "sembahyang" (mendekat kepada  Allah).

"Wayange Wayahe Sembahyang" artinya "Wayang Saatnya Sholat". Jika dispelling ejaannya, kata "wayang" artinya "diri", "saatnya" menunjukkan "waktunya telah tiba", dan "sholat" artinya "menghadap Allah".

Lebih detail lagi jika dimaknai dengan bahasa hakikat. Wayang atau diri ini tidak memiliki kuasa apa pun dalam hidup ini, karena yang memiliki kuasa dalam memerankan lakon hidup ini adalah sang "Dalang". Dalang adalah Penguasa Jagad Raya; Allah SWT.

Diri ini harus "menerima" apa pun lakon dari-Nya. Manut meski dikeplek-keplekkan, diantemi, dijotosi, dibanting, bahkan dibunuh lalu dibuang di peti (kotak wayang) tanpa ada peran lagi. Itulah wayang atau diri kita ini.

"Saatnya" atau waktu telah tiba. Pak Preen sadar bahwa ia hidup pada waktu sekarang. Tidak kemarin sebagai bupati, dan besok yang tidak pasti. Pak Preen sadar sekarang dirinya telah ditangkap KPK. Pak Preen sadar jika dirinya akan masuk bui atau dipenjara.

Ketika di penjara, tidak ada yang bisa dilakukan yang berarti kecuali "sembahyang". Mendekatkan diri kepada Illahi, untuk memohon ampunan terhadap salah dan dosa yang telah dilakoni. Dengan begini hidupnya bisa tenang, damai, dan bahagia.

Namun, justru orang lain yang "geger gedhen". Kata satir; "Sing nglakoni adem ayem, sing nyawang kakean cangkem". Memang begitulah yang terjadi, banyak orang, entah itu warga Ponorogo atau luar daerah banyak yang "kakean cangkem". Menghina dan mencaci maki Pak Preen. Mereka yang "kakean cangkem" itu bukan hanya orang biasa, tapi juga ada ulama, ustad, dan kiai.

Tapi, tak sedikit warga dan ustad yang membelanya. Salah satunya adalah Gus Kautsar, putra Gus Mik (KH Hamim Tohari Djazuli alm). Gus Kautsar begitu bijak menanggapi Pak Preen ditangkap KPK.

"Sungguh tidak baik, ada orang sedang jatuh terus dihujat dan dicaci-maki. Kebanyakan orang memang begitu, kalau ada orang yang berhasil dipuji-puji, lalu kalau jatuh dijauhi. Sebagai orang beriman tidak baik itu. Justru jika ada yang jatuh, itu wajib ditemani, dihibur, syukur-syukur dibantu," kata Gus Kautsar dalam sebuah ceramahnya.

"Ini bukan saya membela perbuatan salah. Yang salah tetap salah, tapi ingat Pak Preen juga pernah berbuat baik. Dengan kesalahannya, ia bisa tambah berbuat baik lagi," tambahnya. 

Kita ini, sambung Gus Kautsar, hanyalah wayang. "JIka kita masih terlihat baik, karena Allah masih menutupi salah dan dosa kita. Kalau sudah dibuka, terlihatlah segala aib kita. Untuk itulah jangan suka membuka aib lain, apalagi menghujat dan mencaci-maki," pinta Gus Kautsar.

Dari sini teringatlah saya dengan kisah sufi yang amat menarik. Yakni kisah Syech Abdul Khadir Jailani dan santrinya yang mantan bromo corah. "Soal keulamaan dan kealiman Syech, sudah tidak diragukan lagi. Namun apakah Syech bisa bernasib seperti saya yang hina ini," tanya santri saat mengaji.

Mendengar pertanyaan itu seketika Syech  Abdul Khadir Jaelani diam dan tertunduk. Lalu, tak seberapa lama Syech meneteskan air mata. Menangis. Padahal, biasanya, ia menjawab setiap pertanyaan santrinya dengan cakap dan brilian. Mendapati kejadian mursyidnya yang aneh itu, santri bromo corah dan santri lainnya pun bingung. Apalagi, Syech kemudian segera berpamitan pulang.

Melihat situasi itu santri mantan bromo corah pun mengejarnya. Ia takut gurunya tersinggung dengan pertanyaannya. "Maaf Syech, adakah pertanyaannku yang salah dan menyakiti hatimu," tanya santri mantan bromo corah.

Syech tersenyum masygul. "Wahai santriku, pertanyaanmu sungguh sangat menghentakkan jiwaku, sehingga membuatku menangis. Saya ini juga ciptaan-Nya, jika Allah berkehendak mengubah nasibku, itu tinggal Kun Fayakun," kata Syech dengan penuh kesadaran. Benar status Pak Preen; Diri ini hanyalah wayang. (**)
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Hari Jadi Ponorogo

📢 Pasang Iklan Disini