![]() |
Foto ilustrasi: Istimewa |
Seputar Ponorogo-Seorang pemilik warung di Solo, Jawa Tengah, berinisial Joko (bukan nama sebenarnya) harus menghadapi proses hukum setelah didenda Rp 50 juta. Ia dituding melanggar hak siar pertandingan sepak bola karena televisi di warungnya dipakai untuk nonton bareng atau nobar.
Kasus ini berawal dari kebiasaannya menggelar nobar sejak membuka usaha pada 2016. Joko mengaku hanya ingin menonton bersama teman-temannya sekaligus memberi suasana meriah di warungnya. Namun, sejak 2019 ia mulai mendapat somasi dari pihak yang mengklaim sebagai pemegang hak siar.
Awalnya, Joko tidak paham aturan lisensi. Ia mengira cukup mengantongi izin keramaian dari pemerintah atau kepolisian. Belakangan baru ia sadar bahwa menayangkan pertandingan di tempat komersial memerlukan lisensi penyiaran khusus.
Pada 2022, ia sempat membeli lisensi dengan paket UMKM seharga Rp 13 juta termasuk PPN. Nominal itu pun sudah terasa berat, mengingat kapasitas warungnya hanya 30–40 orang. Meski begitu, ia tetap berusaha mencicil biaya tersebut.
Masalah kembali muncul pada April 2024 ketika ia menerima somasi baru. Pihak pemegang hak siar melalui kuasa hukum meminta pembayaran lisensi Rp 25 juta ditambah denda Rp 25 juta, sehingga total Rp 50 juta. Joko menilai permintaan tersebut tidak masuk akal.
“Keuntungan saya dari tiket nobar hanya puluhan ribu rupiah. Mustahil membayar Rp 50 juta,” ujarnya.
Karena tidak ada titik temu, kasus pun bergulir ke ranah hukum. Pada 31 Juli 2025, status Joko resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jateng atas dugaan pelanggaran Pasal 25 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Joko mengaku bukan satu-satunya yang mengalami hal ini. Menurut informasi yang ia dapat, ada lebih dari 500 kasus serupa di Indonesia. Di Solo saja, ia mengetahui sedikitnya lima tempat usaha lain yang sudah mendapat somasi dengan tuntutan mulai Rp 100 juta hingga Rp 350 juta. Beberapa bahkan memilih menutup usahanya karena takut.
Ia juga menyebutkan ada kasus lain di mana pemilik kafe hanya menyalakan TV untuk mengecek saluran berbayar, tetapi tetap dilaporkan. Ada pula yang tidak memungut biaya nobar, namun tetap dianggap melanggar karena tayangan diputar di ruang usaha.
Selain denda Rp 50 juta, Joko juga sempat ditawari penyelesaian damai. Menurut pengakuannya, pihak penyidik menyampaikan bahwa kasus bisa selesai bila ia membayar Rp 100 juta kepada pemegang hak siar. Tawaran itu membuatnya semakin kecewa, sebab sejak awal ia berharap ada mediasi yang adil.
“Dulu polisi bilang akan ada mediasi, tapi ternyata saya langsung ditetapkan tersangka,” kata Joko.
Kini, Joko hanya bisa menunggu proses hukum berjalan. Ia sudah menyerahkan bukti percakapan dengan pihak pemegang hak siar kepada penyidik, namun merasa tidak semua keterangan ditampung.
Meski pasrah, ia berharap kasus yang menimpanya bisa menjadi pelajaran bagi pelaku UMKM lain agar lebih berhati-hati. Ia juga meminta pemerintah turun tangan memberikan solusi, karena menurutnya biaya lisensi yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan usaha kecil yang masih berjuang bertahan pascapandemi.