Iklan

📢 Pasang Iklan Disini

Kartu Pers, LSM, dan Uang Tutup Mulut: Modus Lama yang Bangkit Lagi

Redaksi
Senin, 07 Juli 2025
Last Updated 2025-07-06T17:55:09Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Pasang Iklan di Sini
Jangkauan luas, harga terjangkau
📲 Hubungi via WhatsApp

Di suatu siang yang terik, seorang kepala desa di wilayah pinggiran Jawa Timur menerima tamu tak diundang. Lima orang datang, dua di antaranya mengaku wartawan dari media lokal, sementara yang lain memperkenalkan diri sebagai anggota LSM pemantau anggaran desa.

Mereka membuka pembicaraan dengan basa-basi, lalu perlahan mulai menyinggung adanya dugaan penyimpangan dana BUMDes. “Kami punya data awal,” ujar salah satu dari mereka, sambil menyodorkan map berisi beberapa lembar kertas hasil cetak. Isinya tidak jelas, namun kalimat berikutnya langsung memancing kekhawatiran:

“Kalau bapak keberatan diberitakan, bisa kita bicarakan baik-baik.”

Skenario seperti ini bukan baru. Namun dalam beberapa bulan terakhir, polanya muncul kembali di berbagai daerah. Mereka datang membawa kartu pers dan legalitas LSM sebagai tameng, lalu melancarkan praktik pemerasan atas nama pengawasan.

Kasus Sumedang: Lima Ditangkap, Modus Serupa

Pada Juni 2025, Polres Sumedang menangkap lima orang yang mengaku wartawan dan LSM. Mereka memeras kepala desa di Kecamatan Cisarua dengan dalih menemukan dugaan penyelewengan dana BUMDes.

Kapolres Sumedang AKBP Indra Setiawan menyebut, pelaku meminta uang sebesar Rp50 juta agar “kasus” tersebut tidak dipublikasikan di media.

Sumber: Kompas.com, Antara News Lampung

Jember: Permintaan THR Berkedok Pengawasan

Di Jember, seorang pria berinisial MRF ditangkap karena meminta uang Rp1 juta dari kepala desa Sukosari. Modusnya terkesan remeh, namun menunjukkan pola berulang: datang sebagai wartawan dan LSM, menuduh proyek desa bermasalah, lalu menawarkan damai.

Sumber: RMOL.ID

Trenggalek, Probolinggo, dan Daerah Lainnya

Di Trenggalek, tiga wartawan gadungan dilaporkan memeras kepala desa dengan modus serupa. Di Probolinggo, dua pelaku menggunakan surat tugas fiktif untuk meminta “uang koordinasi”.

Sumber: Kompas.com

Pers atau Pemeras?

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers menegaskan perlindungan UU Pers tidak berlaku bagi aktivitas pemerasan.

“Undang-undang tidak melindungi kriminalitas yang berkedok jurnalistik.”

Hal serupa juga berlaku bagi LSM. Banyak yang tidak memiliki izin, akta notaris, maupun struktur organisasi jelas.

Mengapa Mereka Dibiarkan?

Fenomena ini marak karena beberapa sebab:

  • Minim literasi hukum di tingkat desa.
  • Ketakutan terhadap pemberitaan negatif.
  • Lemahnya verifikasi lembaga oleh publik.

Banyak kepala desa lebih memilih membayar agar “masalah selesai” daripada menghadapi tekanan sosial.

Penutup

Kartu pers bukan perisai hukum. Surat tugas LSM bukan paspor moral. Bila tidak dibarengi integritas, dua hal itu hanya menjadi alat ancaman.

Dan untuk kita semua, mungkin ini saatnya mengingat:

Yang membuat seseorang jadi wartawan, bukanlah kartu pers, tapi komitmen pada kebenaran.
Yang menjadikan lembaga sipil bermartabat, bukan namanya, tapi etika kerjanya.

©serogo
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Hari Jadi Ponorogo

📢 Pasang Iklan Disini