Iklan

📢 Pasang Iklan Disini

Absurd, Lucu, tapi Berisiko: Brain Rot dan Dunia Fantasi di Genggaman Anak Kita

Redaksi
Senin, 07 Juli 2025
Last Updated 2025-07-06T23:16:14Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Pasang Iklan di Sini
Jangkauan luas, harga terjangkau
📲 Hubungi via WhatsApp

Pernahkah Anda melihat video hiu memakai sepatu? Atau manusia berkepala cappuccino menari-nari di TikTok? Kalau pernah, selamat datang di era absurd: zaman di mana logika tak lagi jadi syarat utama untuk viral. Tapi di balik kelucuan konten-konten “brain rot” seperti ini, ternyata ada alarm yang sedang dibunyikan oleh para akademisi—salah satunya Melly Latifah dari IPB University.

Menurut Melly, konten hiper-absurd memang bisa bikin ngakak. Tapi kalau dikonsumsi terus-menerus, terutama oleh anak-anak dan remaja, dampaknya bisa lebih dari sekadar “kringe”—bisa mengubah cara otak mereka memahami dunia nyata.

“Anak-anak usia dini belum bisa membedakan mana fantasi mana kenyataan. Kalau setiap hari nonton manusia dari pentungan kayu sambil teriak ‘tung-tung tung sahur’, bisa-bisa dia pikir itu memang bentuk manusia baru,” ujar Melly, dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Lebih dalam lagi, Melly menjelaskan bahwa otak anak bisa kecanduan sensasi dopamin dari konten absurd. Ini bukan cuma soal lucu-lucuan, tapi juga soal gangguan fokus, emosi, hingga kemampuan berbahasa yang ikut terseret-seret dalam kekacauan visual dan narasi tanpa koherensi.

Bagi remaja, masalahnya sedikit berbeda. Mereka memang lebih bisa membedakan kenyataan dan fiksi, tapi justru rentan terhadap pola pikir “semakin tidak masuk akal, semakin menarik.” Logika bisa remuk. Sistem berpikir runut bisa ambyar. Sementara empati, perlahan-lahan, menguap karena dunia digital membuat semuanya terasa lelucon semata.

Namun, seperti dua sisi dari koin yang sama, Melly tidak serta-merta mengutuk konten absurd. Ia menyebut, jika dikelola dengan benar, konten semacam ini bisa melatih kreativitas dan bahkan kemampuan mendeteksi pola.

“Konten absurd bisa jadi semacam cognitive playground—taman bermain kognitif—yang sebenarnya penting di era banjir informasi,” katanya. Tapi tentu saja, bukan taman bermain tanpa pagar.

Enam Jurus Orang Tua

Supaya anak tidak “keracunan” brain rot, Melly memberi enam langkah jitu:

  1. Bangun literasi digital
    Jelaskan bahwa konten seperti itu buatan AI, seaneh mimpi, bukan dunia nyata.
  2. Batasi akses
    Gunakan fitur restricted mode, batasi durasi (misalnya 5 menit/hari), dan hindari sebelum tidur.
  3. Aktifkan konsumsi aktif
    Ajak anak menganalisis: “Coba, sebutkan tiga hal yang aneh dari video ini!”
  4. Latih jangkar logika (cognitive anchoring)
    Sambungkan dengan fakta: “Ikan hiu tidak punya kaki, kan?”
  5. Edukasi soal bahaya absurditas
    Jelaskan efek jangka panjang: seperti makan permen terus-menerus, otak juga bisa “kecapekan.”
  6. Lakukan digital detox
    Jika sudah kelewatan, matikan internet 3–7 hari dan ajak anak kembali ke dunia nyata: main layangan, ngobrol dengan teman, atau sekadar duduk di teras sore hari.

Mengenali Gejala Brain Rot

Istilah “brain rot” ini memang terkesan ekstrem, tapi ia mencerminkan gaya hidup digital kita hari ini: scroll tanpa henti, binge-watching, dan otak yang dibiarkan bekerja tanpa jeda.

Tanda-tandanya bisa muncul dari hal kecil: anak susah fokus, sering lupa hal-hal sederhana, ngomongnya jadi patah-patah, atau justru tertawa histeris saat online tapi datar waktu diajak ngobrol.

Untuk balita, bentuknya bisa berupa gerakan aneh-aneh meniru konten. Anak SD bisa drop nilai pelajarannya. Remaja? Jangan heran kalau mulai bicara pakai bahasa meme.


Lucu boleh, asal tahu batas. Jangan sampai realitas yang absurd di layar kecil, jadi kacamata utama anak kita melihat dunia. Karena ketika logika ditukar dengan sensasi, empati pun bisa ikut tenggelam.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Hari Jadi Ponorogo

📢 Pasang Iklan Disini