Gerak Wereng Lebih Cepat dari Gerak Dinas

Komentar salah satu netizen di sosial media Facebook

"Lek wis kenek, an mbok kok grujuk obat sak drum yo percuma... Lek trae ngobat yo sak durunge wereng nyerang... Ngendi-ngendi do wis nglosor wite pari, lagi gerak... Kudune PPL ra sah ngenteni laporan, yo kudu sobo sawah dadi ngerti... Jo ngenteni laporan lagi gelem nyang sawah... Gek dadak pengajuan proposal munggah, sedeng parine entek badok wereng... Wong telung bengi wae wis bar."
— komentar netizen

Di jagat petani, ada satu hukum yang tak tertulis tapi selalu terbukti: hama menyerang lebih cepat dari birokrasi bergerak. Petani bisa bangkrut dalam semalam, tapi bantuan pemerintah baru tiba saat batang padi sudah jadi arang. Itupun harus pakai proposal.

Baru-baru ini, Dinas Pertanian mengklaim “gerak cepat” bantu petani korban wereng. Hebat, ya. Begitu ada berita padi gagal panen, dinas langsung muncul dengan satu drum pestisida di tangan. Sayangnya, mereka lupa satu hal: yang diserang itu bukan headline koran, tapi tanaman. Dan tanaman tidak bisa diselamatkan oleh drama pencitraan.

Ilustrasi: Serangan Wereng tak menunggu surat disposisi

Kapan Dibilang Cepat?

Di banyak daerah, tanaman padi sudah ngglosor duluan. Dalam tiga malam, wereng bekerja lebih profesional daripada aparat pertanian kita. Tanpa proposal, tanpa disposisi, tanpa tanda tangan pejabat Eselon 3, mereka mengeksekusi. Sementara petugas lapangan? Sibuk mengabarkan ke atasan: “Laporan sudah kami terima, Pak. Akan segera kami kaji.” Lalu foto bersama petani, unggah di Instagram, caption-nya: "Turun langsung ke lapangan. Petani adalah pahlawan pangan."

Ironis, sebab banyak petani bahkan tidak tahu siapa PPL di daerah mereka. Atau malah lupa bentuk wajahnya. Karena yang disebut penyuluh pertanian lebih sering menjadi penyuluh dalam bentuk proposal: hadir di atas kertas, tapi tak menyentuh lumpur.

Saat PPL Lebih Takut Matahari daripada Wereng

Kita bukan anti-bantuan pemerintah. Tapi yang kita persoalkan adalah waktu dan cara kerjanya. Apa gunanya bantuan datang setelah panen gagal? Apa gunanya drum pestisida kalau disemprotkan ke ladang yang sudah mati?

PPL, dalam skenario ideal, mestinya menjadi garda terdepan. Mereka harus menyusuri sawah sebelum petani mengeluh. Mereka harus tahu siklus hama, pola tanam, dan kondisi varietas lokal—bukan hanya tahu jadwal upload foto kegiatan ke media sosial dinas.

Tapi kenyataan tak seindah brosur pelatihan. Di lapangan, PPL justru kadang takut kotor, takut panas, dan lebih nyaman di kantor. Hanya muncul kalau ada jadwal monitoring, atau saat ingin menjaring data untuk laporan kegiatan. Setelah itu? Hilang. Seperti wereng di malam hari.

Bukan Petani yang Lemah, Tapi Sistem yang Melemahkan

Petani kita tangguh, jangan salah. Mereka tahu cara merawat tanah, membaca langit, bahkan mengenali hama dari bentuk bekas gigitan daun. Tapi yang mereka tak punya adalah kekuatan melawan sistem lamban yang birokratis dan formalistis.

Wereng tak menunggu surat pengantar. Tapi bantuan pestisida harus pakai proposal. Harus ada musyawarah desa. Harus ada tanda tangan kepala dinas. Harus ada kwitansi. Harus ada dokumentasi. Harus ada laporan pertanggungjawaban. Harus, harus, harus—sampai akhirnya petani hanya bisa bilang: “Sudah terlanjur. Parine entek.”

Akhir Kata

Boleh saja Dinas Pertanian mengklaim "gerak cepat". Tapi tolong diingat: cepat bagi petani bukan soal konferensi pers atau unggahan Facebook. Cepat itu berarti: PPL datang sebelum hama, bukan setelahnya. Cepat itu bukan pengadaan pestisida setelah gagal panen, tapi deteksi dini sebelum ladang jadi sarang.

Petani tidak butuh pencitraan. Mereka hanya ingin teman seperjuangan yang tidak hanya datang saat kamera menyala.


Foto Penulis
Reporter: N/A
Editor: N/A
Terbit:

0 Komentar